Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru
dalam memilih kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut berupa, apakah guru akan
menjelaskan pengajaran materi bidang studi yang sudah tersusun dalam urutan
tertentu atau menggunakan materi yang terkait satu dengan yang lainnya dalam
tingkat kedalaman yang berbeda, atau materi yang terintegrasi dalam suatu
kesatuan multi disiplin ilmu. Pendekatan pembelajaran ini sebagai penjelasan
untuk mempermudah para guru dalam memberikan pelayanan belajar, sedangkan bagi
siswa berguna untuk mempermudah memahami materi agar yang disampaikan guru
dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Menurut Ruseffendi pendekatan dalam pembelajaran
matematika adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru
atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana
proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu dikelola.12
1.2.
Macam-macam
Pendekatan Pembelajaran Matematika
Para ahli pendidikan matematika menyadari bahwa
siswa masih suka menggunakan akalnya dalam belajar, itu berarti menggunakan
pendekatan deduktif. Berdasarkan atas pertimbangan ini, dan alasan lain, maka
pada program pengajaran sekarang banyak menggunakan jenis pendekatan. Tetapi
pada umumnya pendekatan dalam belajar lebih banyak menggunakan pendekatan
deduktif dan induktif. Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif yang
bersifat empiris. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat
dimengerti murid melalui benda-benda konkret. Penalaran induktif yang dilakukan
melalui pengalaman dan pengamatan ada kelemahannya, yakni kesimpulannya tidak
menjamin berlaku secara umum. Oleh karena itu, dalam matematika formal hanya
dipakai induksi lengkap atau induksi matematik, sehingga dengan menggunakan
induksi lengkap, maka kesimpulan yang ditarik dapat berlaku secara umum.
Berikut ini disajikan contoh penggunaan pendekatan induktif untuk membahas
topik matematika tertentu.
Contoh : Pola Bilangan
Selidiki
jumlah 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + ...
Jawab
:
1
= 1 = 1.1
1+3
= 4 = 2.2
1+3+5
= 9 = 3.3
1+3+5+7
= 16 = 4.4
1+3+5+7+9
=25 = 5.5
1+3+5+7+9+11=36
= 6.6
Dengan tanpa menjumlahkan 1+3+5+7+9+11
terlebih dahulu kita sudah dapat menduga bahwa jumlahnya adalah 6.6 = 36
Sekarang coba gunakan pola yang kita peroleh itu untuk mendapatkan
1+3+5+7+9+11+ ...+99. Tentukan pula bentuk umumnya?
Jawabannya
adalah 50.50 = 2500. Dengan demikian bentuk umum yang dapat dibuat adalah n2
B.
Pendekatan
deduktif
Telah dikemukakan bahwa pendekatan
deduktif berdasarkan pada penalaran deduktif. Penalaran deduktif merupakan cara
menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi ke hal yang khusus. Dalam
penalaran deduktf, tidak menerima generalisasi dari hasil observasi seperti
yang diperoleh dari penalaran induktif. Dasar penalaran deduktif adalah
kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang
benar. Kalau begitu bagaimana untuk menyatakan kebenaran yang paling awal?.
Untuk mengatasi hal ini dalam penalaran deduktif memasukkan beberapa pernyataan
awal/pangkal sebagai suatu “kesepakatan’, yang diterima kebenarannya tanpa
pembuktian, dan istilah/pengertian pangkal yang kita sepakati maknanya.
Pengertian pangkal merupakan pengertan
yang tidak dapat didefinisikan.Titik, garis, dan bidang merupakan contoh-contoh
pengertian pangkal, sebab titik, garis, dan bidang dianggap ada tapi tidak
dapat dinyatakan dalam kalimat yang tepat. Pernyataan-pernyataan pangkal yang
memuat istilah atau pengertian tersebut dinamakan aksioma atau postulat Dengan
penalaran deduktif dari kumpulan aksioama yang menggunakan pengertian pangkal
tersebut, kita dapat sampai kepada teorema-teorema yaitu pernyataan-pernyataan
yang benar.
Contoh:
Bukti
Tidak Langsung, dan Induksi Matematika ( Ruseffendi 1992: 32 ).
Dalam pelaksanaannya, mengajar dengan
pendekatan deduktif akan lebih banyak memerlukan waktu daripada mengajar dengan
pendekatan induktif. Tetapi bagi kelas rendah atau kelas yang lemah, pendekatan
induktif akan lebih baik, pendekatan induktif akan lebih memudahkan murid
menangkap konsep yang diajarkan. Sebaliknya kelas yang kuat akan merasakan
pengajaran dengan pendekatan induktif bertele-tele. Kelas ini lebih cocok
diberi pelajaran dengan pendekatan deduktif.
Karena itu, guru harus dapat
memperkirakan pendekatan mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan
tertentu di suatu kelas. Ada baiknya para guru matematika sewaktuwaktu bertukar
pendapat mengenai pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan
tertentu di suatu kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari
pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan.
C.
Pendekatan
Spiral
Pada pembelajaran matematika yang
menggunakan pendekatan spiral, suatu konsep tidak diajarkan dari awal sampai
akhir secara sebagian-sebagian, berulang-ulang, atau dalam selang waktu yang
terpisah-pisah. Tetapi dalam pembelajaran, mula-mula konsep tersebut dikenalkan
dengan cara dan dalam bentuk sederhana yang makin lama makin kompleks dan dalam
bentuk abstrak. Pada akhirnya digunakan bentuk umum dalam matematika, di antara
selang waktu yang terpisah itu diberikan konsep-konsep lain.
Sebuah topik dengan cara intuitif
melalui benda-benda konkret, atau gambar-gambar sesuai kemampuan siswa dan
konsep A dinyatakan dengan notasi symbol yang sederhana. Setelah selang waktu
itu selesai, pembelajaran dilanjutkan dengan konsep-konsep lain (misalnya,
konsep B dan C), mungkin konsep A dengan notasi yang sederhana itu digunakan
dalam konsep B dan konsep C. Di selang-selang waktu yang terpisah selanjutnya,
konsep A diajarkan lagi yang makin lama semakin kompleks dan lebih abstrak yang
akhirnya menggunakan notasi yang umum digunakan dalam matematika.
Pendekatan spiral merupakan suatu prosedur
pembahasan konsep yang dimulai dengan cara sederhana dari konkret ke abstrak,
dari cara intuitif ke analisis, dari penyelidikan (eksplorasi) ke penguasaan,
dari tahap paling rendah hingga tahap yang paling tinggi, dalam waktu yang
cukup lama, dan dalam selang-selang waktu
terpisah-pisah.
Pendekatan spiral sangat sesuai dengan
perkembangan psikologi anak, dengan demikian prinsip psikologis terpenuhi.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah memerlukan waktu yang sangat panjang untuk
mengenalkan suatu konsep, ini memungkinkan bagi siswa-siswa pandai mengalami
kejenuhan belajar.
D.
Pendekatan
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan
kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba - tiba.Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, bergelut dengan ide –
ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme
berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari
kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada penjelasan tentang
pengetahuan tersebut dari kacamatasiswa sendiri. Guru dalam pembelajaran ini
berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno ( 1997 : 66) menjabarkan
beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut :
1. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses penelitian.
2. Menyediakan
atau memberikan kegiatan – kegiatan yang merangsang keingin tahuan siswa
membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan – gagasannya dan mengkomunikasikan
ide ilmiah mereka.
3. Menyediakan
sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
4. Memonitor,
mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan.
Guru konstruktivis perlu mengerti sifat
kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan
kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semuavbidang
pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai
suatuvsumber informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip konstrukstivisme Piaget menurut
De Vries dan Kohlberg ( Suparno,1997:70 ).yang perlu diperhatikan dalam
pembelajarn matematika antara lain adalah :
·
Struktur psikilogi harus
dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan dikembangkan.Bila siswa mencoba
menalarkan bilangan sebelum mereka menerima stuktur logika matematis yang cocok
dengan persoalannya, tidak akan ada jalan.
·
Stuktur psikologi (
skemata ) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol
adalah bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
·
Siswa harus mendapatkan
kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya
selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
·
Suasana berpikir harus
diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang dipunyai
guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur
perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka.
Namun menurut Vigotsky, dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vigotsky disebut kotnstruktivisme sosisal. Ada dua konsep
penting dalam teori Vigotsky yaitu Zaone of Proximal Development ( ZPD ) dan
scaffolding. Zone of Proximal Developmen ( ZPD ) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Sedangkan
scaffolding merupakan sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil
alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding
merupakan bantuan - bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa pemecahan, memberikan contoh,
dan tindakan – tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
E.
Pendekatan
Konstektual
Salah satu upaya untuk merubah cara
mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan KTSP adalah merubah cara pandang guru
terhadap mengajar dan belajar. Mengajar menurut pandangan lama adalah proses
pemberian pengetahuan dan prosedur kepada siswa, dimana pandangan ini berimplikasi
terhadap cara belajar siswa yang hanya dan menghapalkan langkah-langkah pemecahan
sebuah persoalan. Belajar menurut pandangan kontemprorer adalah proses
interaksi individu dengan lingkungannya dengan melibatkan fisik, mental dan
emosional, hingga siswa memperoleh sejumlah pengalaman bermakna
(konstruktivisme). Menurut pandangan ini pengetahuan yang diperoleh siswa bukan
proses pemindahan dari guru ke siswa, melainkan dibentuk atau disusun sendiri
oleh siswa melalui interaksinya dengan lingkungan. Sesuatu yang diketahui siswa
itu sendiri dari pengalamannya.
Pengetahuan yang dimiliki siswa menurut
pandangan konstrutivisme merupakan susunan yang diperoleh dari proses panjang
hasil interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan bukan sesuatu yang telah jadi
dan sempurna yang harus diberikan kepada siswa, melainkan dugaandugaan (konjectural)
yang mungkin salah, bersifat sementara dan tak pernah sempurna. Salah satu pendekatan
mengajar yang sesuai dengan pandangan ini adalah Contextual Teaching and
Learning ( CTL).
CTL merupakan pendekatan pembelajaran
yang menghubungkan konsep dengan konteksnya, sehingga siswa memperoleh sejumlah
pengalaman belajar bermakna berupa pengetahuan dan keterampilan. Menggabungkan
materi dengan pengalaman harian individu, masyarakat dan pekerjaan yang
melibatkan aktifitas.
Pendekatan CTL memungkinkan siswa
dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan sekolah untuk meningkatkan kebermaknaan
belajarnya. Siswa disadarkan, mengapa mereka belajar konsep-konsep dan
bagaimana konsep-konsep penting dapat digunakan di luar kelas. Pendekatan CTL
membuat sebagian besar siswa belajar secara efisien, kapan mereka bekerja
secara kooperatif dengan siswa lain dalam kelompok.
Pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran merupakan konsep belajar mengajar yang memfungsikan guru sebagai
pihak yang harus mengemas materi (konten) dan mengaitkannya dengan suasana yang
mudah dipahami siswa (konteks). Membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, serta mendorong siswa membuat
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Tugas guru dalam pembelajaran
kontekstual membantu siswa memperoleh pengalaman dan menemukan pengetahuan atau
keterampilan baru. Guru sebagai pengelola kelas lebih banyak memikirkan
bagaimana siswa memperoleh pengalaman belajar sehingga siswa memperoleh pengetahuan
dan keterampilan baru secara bermakna melalui pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya.
Prinsip-prinsip
yang mendasari CTL adalah:
1. Konstruktivisme (Contructivism)
Konstruktivisme (Constructivism)
merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu
pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat,
tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah
ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks
ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka
sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme
agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada
hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih
diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat
pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
(1)
menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;
(2)
member kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan
(3)
menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang,
selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama dalam
pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam sebuah pembelajran
yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(1)
menggali informasi, baik administrasi maupun akademis;
(2)
mengecek pemahaman siswa;
(3)
membangkitkan respon pada siswa;
(4)
mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
(5)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa;
(6)
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
(7)
membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
(8)
menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Pada
semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara siswa
dengan siswa, antara guru dengan
siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang
didatangkan ke kelas dan sebagainya.
3. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri.
Siklus
inkuiri adalah:
(1)
Observasi (Observation),
(2)
Bertanya (Questioning),
(3)
Mengajukan dugaan (Hipotesis),
(4)
Pengumpulan data (Data Ghatering),
(5)
Penyimpulan (Conclusion).
Sedangkan kata kunci dari strategi inquiry
adalah siswa menemukan sendiri, dengan langkah-langkah kegiatannya adalah:
(1) merumuskan masalah; (2) mengamati atau melakukan observasi; (3)
menganalisis dan menyajikan hasil baik dalam bentuk tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan karya lainnya; serta (4) mengkomunikasikan atau menyajikan
hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audience lainnya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan
agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil
belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar
yang tahu ke yang belum tahu, baik di ruang kelas ini, di sekitar sini, juga
orang-orang yang berada di luar sana dan mereka semua adalah anggota masyarakat
yang sedang belajar.
Penggunaan pendekatan kontekstual dalam
kelas, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok
belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat
heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum
tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai
gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Kelompok
siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bias melibatkan
siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang
‘ahli’ ke dalam kelas. “Masyarakat Belajar” bisa terjadi apabila ada proses
komunikasi dua arah. “Seorang guru yang mengajari siswanya” bukanlah sebuah
contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu
informasi hanya datang dari guru ke arah siswa. Dalam belajar, dua kelompok
(atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi belajar memberikan informasi yang
diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila
tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan
untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling
mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman,
atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu, sebaiknya ada yang bisa dijadikani model bagi siswa.
Proses pemodelan tidak harus dilakukan oleh guru saja, tetapi bisa juga guru
menunjuk siswa yang dianggap mempunyai kemampuan lebih jika dibandingkan dengan
siswa lainnya. Model yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, memberi
peluang yang besar bagi siswa lainnya untuk dapat mengerjakan sesuatu dengan baik.
Dengan begitu semua siswa mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara belajar atau
mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang
apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah
dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan
atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap
kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika
pelajaran berakhir, siswa merenung “Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama
ini salah, ya! Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file computer
saya lebih tertata dan lebih rapi”. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari
proses belajar. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks
pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit sehingga semakin
berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
Dengan refleksi itu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
tentang apa yang baru dipelajarinya.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data
yang dikumpulkan teridentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan belajar,
maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari
kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang
proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukannya diakhir periode seperti
akhir semester.
Kemajuan belajar dinilai dari proses,
bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya, itulah
hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga
teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment adalah:
(1)
dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
(2)
bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif;
(3)
yang diukur keterampilan dan penampilan, bukan hanya mengingat fakta;
(4)
berkesinambungan;
(5)
terintegrasi; dan
(6)
dapat digunakan sebagai feed back.
Dengan demikian pembelajaran yang benar
memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning
how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi diakhir periode pembelajaran (Depdiknas, 2003:10).
Sebuah kelas dikatakan menggunakan
pendekatan kontekstual, jika menerapkan komponen utama pembelajaran efektif
dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana pun
keadaannya. Penerapan pendekatan kontekstual secara garis besar
langkahlangkahnya adalah:
(1)
kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan barunya;
(2)
laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan;
(3)
mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya;
(4)
menciptakan masyarakat belajar;
(5)
menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
(6)
melakukan refleksi di akhir pertemuan; dan
(7)
melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
F.
Pendekatan
Pemecahan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
menghadapi permasalahan. Untuk memecahkan permasalahan tersebut biasanya kita
bertanya kepada diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan yang dibantu dengan
informasi yang ada. Problem atau masalah menurut Hayes (Halgimon SL, 1992:2)
adalah suatu kesenjangan (gap) antara di mana Anda berada sekarang
dengan tujuan yang Anda inginkan, sedangkan Anda tidak tahu proses apa yang
akan dikerjakan.
Menurut Hudoyo (1996:190), suatu
pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila pertanyaan itu tidak bisa dijawab
dengan prosedur rutin, sedangkan pemecahan masalah adalah proses penerimaan
tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya Hudoyo
(1996:189) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah dapat diartikan sebagai penggunaan
matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang belum kita ketahui penyelesaiannya ataupun masalah-masalah yang belum kita
kenal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa walaupun pemecahan masalah dapat didefinisikan secara berbeda
oleh orang yang berbeda dalam saat yang sama atau oleh orang yang sama pada
saat yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya semua sepakat bahwa pemecahan masalah
mengandung pengertian sebagai proses berpikir tingkat tinggi dan mempunyai
peranan yang penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam
pengelolaannya diperlukan perencanaan pembelajaran yang matang dan perubahan
pola pikir pada diri guru itu sendiri.
Dalam perencanaan, guru harus merancang
pembelajaran sedemikian rupa sehingga mampu merancang berpikir dan mendorong
siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Sejalan
dengan hal ini Agus (1996:25) mengemukakan bahwa agar pembelajaran pemecahan
masalah lebih bermanfaat bagi siswa, guru harus melakukan langkahlangkah sebagai
berikut :
1) Ajarkan
aspek-aspek pemecahan masalah yang penting, dan
2) Merubah
peranan guru dari penyampai informasi guru berperang sebagai fasilitator,
pelatih dan motivator bagi siswanya.
Polya (Sumarno, 1994:2) secara rinci
menguraikan empat langkah penyelesaian pemecahan masalah matematika disertai
ilustrasi masalah, pertanyaan yang membimbing pemahaman tiap langkah, dan
cara-cara penyelesaiannya. Keempat langkah tersebut adalah :
1) pemahaman
masalah,
2) membuat
rencana penyelesaian,
3) mengerjakan
rencana, dan
4) peninjauan
kembali hasil perhitungan.
Proses
yang harus dilakukan para siswa dari keempat tahapan tersebut secara rinci
dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Memahami masalah
a.
Apa yang tidak diketahui dan data apa yang diberikan?
b.
Bagaimana syarat soal? Mungkinkah dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan
lainnya ?
c.
Apakah kondisi yang diberikan cukup, berlebihan, atau saling bertentangan?
d.
Buatlah gambar, dan tulislah notasi yang sesuai.
2.
Merencanakan Penyelesaian
a. Pernahkah
anda bertemu soal ini sebelumnya ? Atau pernahkah ada soal yang sama atau
serupa dalam bentuk lain ?
b. Tahukah
anda soal yang mirip dengan soal ini ? Teori mana yang dapat digunakan dalam
masalah ini ?
c. Perhatikan
apa yang dinyatakan. Coba pikirkan soal yang dikenal dengan pertanyaan yang
sama atau serupa. Misalkan ada soal yang mirip dengan soal yang pernah diselesaikan.
Dapatkah pengalaman itu digunakan dalam masalah yang sekarang? Dapatkah hasil
itu dan metode yang lalu digunakan di sini?
d. Apakah
harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal semula? Dapatkah mengulang
soal tadi? Dapatkah menyatakan dalam bentuk lain? Kembalilah pada definisi.
e. Andaikan
soal baru belum dapat diselesaikan, coba fikirkan soal serupa dan selesaikan. Bagaimana
bentuk soal itu?
f. Bagaimana
bentuk soal yang lebih khusus? Soal yang analog? Dapatkah sebagian soal diselesaikan?
g. Misalkan
sebagian soal dibuang, sejauh mana yang ditanyakan dapat dicari? Manfaat apa
yang dapat diperoleh dari data yang ada? Perlukah dat lain itu menyelesaikan
soal yang dihadapi?
h. Dapatkah
yang ditanyakan data atau keduanya diubah sehingga menajdi saling keterkaitan
satu dengan yang lainnya?
i. Apakah
semua kondisi sudah digunakan? Sudakah diperhitungkan ide – ide penting yang
ada dalam soal tersebut?
3.
Melaksanakan Perhitungan
a.
Laksanakan rencana penyelesaiannya dan periksalah tiap-tiap langkahnya.
b.
Periksalah bahwa setiap langkah sudah benar.
c.
Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar.
4.
Memeriksa kembali Proses dan Hasil
a.
Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh.
b.
Dapatkah diperiksa sanggahannya ? Dapatkah hasil itu dicari dengan cara yang
lain?
c.
Dapatkah anda melihatnya secara sekilas ? Dapatkah hasil dan atau cara itu
digunakan untuk soal-soal lainnya ?
Selanjutnya
Polya memberikan empat petunjuk kepada guru agar dapat menumbuhkan perilaku
siswa sebagai seorang yang mampu memecahkan masalah, yaitu :
1. Yakinkan
bahwa siswa memahami permasalahan, sebab jika siswa tidak memahaminya maka
minatnya akan hilang.
2. Bantulah
siswa mengumpulkan bahan sebagai landasan berfikir untuk membuat rencana. Dalam
hal ini guru hendaknya mengarahkan siswa untuk mengidentifikasi seluruh syarat yang
diketahui untuk membangun informasi sebanyak-banyaknya.
3. Menciptakan
iklim kondusif dalam pemecahan masalah.
4. Setelah
siswa mencapai solusi, beri semangat kepada siswa untuk merefleksikan masalah dan
cara penyelesaiannya.
G.
Pendekatan
Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan
operasionalisasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah
dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic Mathematics Education (RME) yang
artinya pendidikan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya
adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan
pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud
dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau
dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan
lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan
sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.
Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik menggunakan
masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar
matematika. Perlu dicermati bahwa suatu hal yang bersifat kontekstual dalam
lingkungan siswa di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di
daerah lain. Contoh berbicara tentang kereta api, merupakan hal yang konteks
bagi siswa yang ada di pulau Jawa, namun belum tentu bersifat konteks bagi
siswa di luar Jawa. Oleh karena itu pembelajaran matematika dengan pendekatan
realistik harus disesuaikan dengan keadaan daerah tempat siswa berada.
Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan
suatu “keharusan” dalam menghadapi dunia yang tidak menentu. Siswa perlu
dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan masalah. Masalah yang
disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang memang
semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam
kehidupannya.
a) Prinsip
Pembelajaran Matematika Realistik
Ada
tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu:
1. Guided
reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali
terbimbing/pematematikaan progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari
masalah kontekstual yang diberikan oleh guru di awal pembelajaran, kemudian
dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas,
sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat
dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan
rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang
pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention),
dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika.
Prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan
kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau
diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa
sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui
kegiatan aktif dalam belajar.
2.
Didactical
phenomenology (fenomena pembelajaran)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena
pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu masalah
kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan PMR,
didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam
aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk
dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai
poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2
PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan
topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) topik-topik
matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur
matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.
3.
Self – developed models
(model-model dibangun sendiri).
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun
berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal.
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun
sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan.
Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai
model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih
mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari
re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi.
Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk
matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model
belajar yang bottom up.
b) Karakteristik
Pembelajaran Metematika Realistik
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di
atas, PMR memiliki lima karakteristik, yaitu:
1. Menggunakan
masalah kontekstual
Pembelajaran matematika diawali dengan masalah
kontekstual, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung. Masalah kontekstual
tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber
untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat
sebagai topik awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh
siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk
membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar
matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk
memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika dan (4) untuk melatih
kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata
(realitas).
2. Menggunakan
berbagai model
Istilah model berkaitan dengan model matematika yang
dibangun sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke
dalam bahasa matematika, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat
sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke
formal.
3. Kontribusi
siswa
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada
pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain,
kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa,
bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan
dan dihargai.
4. Interaktif
Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan
siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat
penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan,
pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai
bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika
informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
5. Keterkaitan
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan,
biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk
mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam tesis ini
karakteristik ini tidak muncul.
Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran
matematika realistik di atas maka dapat dikatakan bahwa permulaan pembelajaran
harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui
hal-hal yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam
kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa. Sehingga mereka
dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang
bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di
sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
c) Langkah-langkah
Pembelajaran Matematika Realistik
Langkah-langkah
di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut:
Langkah
1 : Memahami masalah kontekstual
Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta
siswa memahami masalah tersebut secara individual. Guru memberi kesempatan
kepada siswa menanyakan masalah/soal yang belum dipahami, dan guru hanya
memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi
masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah
ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai
titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah
2 : Menyelesaikan masalah
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan
interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan
memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan
masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya,
sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang
lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga
siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR
yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
Langkah
3 : Membandingkan jawaban
Guru meminta siswa membentuk kelompok secara
berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian
masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan,
dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi
bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan
efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan
bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak,
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok
berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan
kelompok berpasangan.
Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk
wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan
dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan
siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan
konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi).
Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
Langkah
4 : Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa
untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang
dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya
interaksi antar siswa dengan guru.
d) Kelebihan
dan Kerumitan Penerapan Pendekatan PMR
Beberapa
kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain sebagai berikut.
1. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari‑hari (kehidupan dunia nyata) dan
kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama
antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau
menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh‑sungguh dalam mengerjakan soal atau
masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu
dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang
paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
4. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan
untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha
untuk menemukan sendiri konsep‑konsep
matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru).
Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang
bermakna tidak akan terjadi.
Sedangkan
beberapa kerumitan dalam penerapan pendekatan PMR antara lain sebagai berikut.
1. Upaya
mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar
mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi
dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”,
tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep‑konsep matematika. Guru dipandang lebih
sebagai pendamping bagi siswa.
2. Pencarian
soal‑soal
kontekstual yang memenuhi syarat‑syarat
yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu
dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal‑soal tersebut harus bisa diselesaikan
dengan bermacam‑macam
cara.
3. Upaya
mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal,
juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
4. Proses
pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal‑soal kontekstual, proses pematematikaan
horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang
sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan
cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap
konsep‑konsep
matematika tertentu.
Walaupun pada pendekatan PMR terdapat
kendala-kendala dalam upaya penerapannya, menurut peneliti kendala-kendala yang
dimaksud hanya bersifat sementara (temporer). Kendala-kendala itu akan dapat
teratasi jika pendekatan PMR sering diterapkan. Hal ini sangat tergantung pada
upaya dan kemauan guru, siswa dan personal pendidikan lainnya untuk
mengatasinya. Menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang baru, tentu akan
terdapat kendala- kendala yang dihadapi di awal penerapannya. Kemudian sedikit
demi sedikit, kendala itu akan terasi jika sudah terbiasa menggunakannya.
Daftar Pustaka
Agus,
D. S. (1996)., Pembelajaran Pemecahan Masalah. Tinjauan Singkat
Berdasarkan Teori Kognitif
dalam Pendidikan Humaniora dan Sains Tahun 2 Nomor 1 dan 2.
Hudoyo.
(1997). Matematika. Dirjen Dikti – BP3GD
Ruseffendi.
E.T.(1992) Pendidikan Matematiika 3 Penddikan dan Kebudayaan Proyek
pembinaan Tenaga
Kependidikan Pendidikan Tinggi,Jakarta.
Ruseffendi.
E.T (1991) Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Mennngkatkan CBSA.Tarsito
Bandung.
Sagala
S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo,
dkk (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FP MIPA IKIP
Bandung.
Suparno
P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta:
Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar