Senin, 04 Desember 2017

Pendekatan Pembelajaran Matematika

1.1.         Pengertian Pendekatan Pembelajaran Matematiika
Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru dalam memilih kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut berupa, apakah guru akan menjelaskan pengajaran materi bidang studi yang sudah tersusun dalam urutan tertentu atau menggunakan materi yang terkait satu dengan yang lainnya dalam tingkat kedalaman yang berbeda, atau materi yang terintegrasi dalam suatu kesatuan multi disiplin ilmu. Pendekatan pembelajaran ini sebagai penjelasan untuk mempermudah para guru dalam memberikan pelayanan belajar, sedangkan bagi siswa berguna untuk mempermudah memahami materi agar yang disampaikan guru dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Menurut Ruseffendi pendekatan dalam pembelajaran matematika adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu dikelola.12
1.2.         Macam-macam Pendekatan Pembelajaran Matematika
A.    Pendekatan Induktif
Para ahli pendidikan matematika menyadari bahwa siswa masih suka menggunakan akalnya dalam belajar, itu berarti menggunakan pendekatan deduktif. Berdasarkan atas pertimbangan ini, dan alasan lain, maka pada program pengajaran sekarang banyak menggunakan jenis pendekatan. Tetapi pada umumnya pendekatan dalam belajar lebih banyak menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif yang bersifat empiris. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dimengerti murid melalui benda-benda konkret. Penalaran induktif yang dilakukan melalui pengalaman dan pengamatan ada kelemahannya, yakni kesimpulannya tidak menjamin berlaku secara umum. Oleh karena itu, dalam matematika formal hanya dipakai induksi lengkap atau induksi matematik, sehingga dengan menggunakan induksi lengkap, maka kesimpulan yang ditarik dapat berlaku secara umum. Berikut ini disajikan contoh penggunaan pendekatan induktif untuk membahas topik matematika tertentu.
Contoh  : Pola Bilangan
Selidiki jumlah 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + ...
Jawab :
1 = 1 = 1.1
1+3 = 4 = 2.2
1+3+5 = 9 = 3.3
1+3+5+7 = 16 = 4.4
1+3+5+7+9 =25 = 5.5
1+3+5+7+9+11=36 = 6.6
Dengan tanpa menjumlahkan 1+3+5+7+9+11 terlebih dahulu kita sudah dapat menduga bahwa jumlahnya adalah 6.6 = 36 Sekarang coba gunakan pola yang kita peroleh itu untuk mendapatkan 1+3+5+7+9+11+ ...+99. Tentukan pula bentuk umumnya?
Jawabannya adalah 50.50 = 2500. Dengan demikian bentuk umum yang dapat dibuat adalah n2

B.     Pendekatan deduktif
Telah dikemukakan bahwa pendekatan deduktif berdasarkan pada penalaran deduktif. Penalaran deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi ke hal yang khusus. Dalam penalaran deduktf, tidak menerima generalisasi dari hasil observasi seperti yang diperoleh dari penalaran induktif. Dasar penalaran deduktif adalah kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang benar. Kalau begitu bagaimana untuk menyatakan kebenaran yang paling awal?. Untuk mengatasi hal ini dalam penalaran deduktif memasukkan beberapa pernyataan awal/pangkal sebagai suatu “kesepakatan’, yang diterima kebenarannya tanpa pembuktian, dan istilah/pengertian pangkal yang kita sepakati maknanya.
Pengertian pangkal merupakan pengertan yang tidak dapat didefinisikan.Titik, garis, dan bidang merupakan contoh-contoh pengertian pangkal, sebab titik, garis, dan bidang dianggap ada tapi tidak dapat dinyatakan dalam kalimat yang tepat. Pernyataan-pernyataan pangkal yang memuat istilah atau pengertian tersebut dinamakan aksioma atau postulat Dengan penalaran deduktif dari kumpulan aksioama yang menggunakan pengertian pangkal tersebut, kita dapat sampai kepada teorema-teorema yaitu pernyataan-pernyataan yang benar.
Contoh:
Bukti Tidak Langsung, dan Induksi Matematika ( Ruseffendi 1992: 32 ).
Dalam pelaksanaannya, mengajar dengan pendekatan deduktif akan lebih banyak memerlukan waktu daripada mengajar dengan pendekatan induktif. Tetapi bagi kelas rendah atau kelas yang lemah, pendekatan induktif akan lebih baik, pendekatan induktif akan lebih memudahkan murid menangkap konsep yang diajarkan. Sebaliknya kelas yang kuat akan merasakan pengajaran dengan pendekatan induktif bertele-tele. Kelas ini lebih cocok diberi pelajaran dengan pendekatan deduktif.
Karena itu, guru harus dapat memperkirakan pendekatan mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas. Ada baiknya para guru matematika sewaktuwaktu bertukar pendapat mengenai pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan.

C.    Pendekatan Spiral
Pada pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan spiral, suatu konsep tidak diajarkan dari awal sampai akhir secara sebagian-sebagian, berulang-ulang, atau dalam selang waktu yang terpisah-pisah. Tetapi dalam pembelajaran, mula-mula konsep tersebut dikenalkan dengan cara dan dalam bentuk sederhana yang makin lama makin kompleks dan dalam bentuk abstrak. Pada akhirnya digunakan bentuk umum dalam matematika, di antara selang waktu yang terpisah itu diberikan konsep-konsep lain.
Sebuah topik dengan cara intuitif melalui benda-benda konkret, atau gambar-gambar sesuai kemampuan siswa dan konsep A dinyatakan dengan notasi symbol yang sederhana. Setelah selang waktu itu selesai, pembelajaran dilanjutkan dengan konsep-konsep lain (misalnya, konsep B dan C), mungkin konsep A dengan notasi yang sederhana itu digunakan dalam konsep B dan konsep C. Di selang-selang waktu yang terpisah selanjutnya, konsep A diajarkan lagi yang makin lama semakin kompleks dan lebih abstrak yang akhirnya menggunakan notasi yang umum digunakan dalam matematika.
Pendekatan spiral merupakan suatu prosedur pembahasan konsep yang dimulai dengan cara sederhana dari konkret ke abstrak, dari cara intuitif ke analisis, dari penyelidikan (eksplorasi) ke penguasaan, dari tahap paling rendah hingga tahap yang paling tinggi, dalam waktu yang cukup lama, dan dalam selang-selang waktu
terpisah-pisah.
Pendekatan spiral sangat sesuai dengan perkembangan psikologi anak, dengan demikian prinsip psikologis terpenuhi. Kelemahan dari pendekatan ini adalah memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mengenalkan suatu konsep, ini memungkinkan bagi siswa-siswa pandai mengalami kejenuhan belajar.
D.    Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba - tiba.Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, bergelut dengan ide – ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada penjelasan tentang pengetahuan tersebut dari kacamatasiswa sendiri. Guru dalam pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno ( 1997 : 66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut :
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses penelitian.
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan – kegiatan yang merangsang keingin tahuan siswa membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan – gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.      Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
4.      Memonitor, mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semuavbidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatuvsumber informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip konstrukstivisme Piaget menurut De Vries dan Kohlberg ( Suparno,1997:70 ).yang perlu diperhatikan dalam pembelajarn matematika antara lain adalah :
·         Struktur psikilogi harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan dikembangkan.Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima stuktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan ada jalan.
·         Stuktur psikologi ( skemata ) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
·         Siswa harus mendapatkan kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
·         Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka.

Namun menurut Vigotsky, dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vigotsky disebut kotnstruktivisme sosisal. Ada dua konsep penting dalam teori Vigotsky yaitu Zaone of Proximal Development ( ZPD ) dan scaffolding. Zone of Proximal Developmen ( ZPD ) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Sedangkan scaffolding merupakan sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan - bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan – tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

E.     Pendekatan Konstektual
Salah satu upaya untuk merubah cara mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan KTSP adalah merubah cara pandang guru terhadap mengajar dan belajar. Mengajar menurut pandangan lama adalah proses pemberian pengetahuan dan prosedur kepada siswa, dimana pandangan ini berimplikasi terhadap cara belajar siswa yang hanya dan menghapalkan langkah-langkah pemecahan sebuah persoalan. Belajar menurut pandangan kontemprorer adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya dengan melibatkan fisik, mental dan emosional, hingga siswa memperoleh sejumlah pengalaman bermakna (konstruktivisme). Menurut pandangan ini pengetahuan yang diperoleh siswa bukan proses pemindahan dari guru ke siswa, melainkan dibentuk atau disusun sendiri oleh siswa melalui interaksinya dengan lingkungan. Sesuatu yang diketahui siswa itu sendiri dari pengalamannya.
Pengetahuan yang dimiliki siswa menurut pandangan konstrutivisme merupakan susunan yang diperoleh dari proses panjang hasil interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan bukan sesuatu yang telah jadi dan sempurna yang harus diberikan kepada siswa, melainkan dugaandugaan (konjectural) yang mungkin salah, bersifat sementara dan tak pernah sempurna. Salah satu pendekatan mengajar yang sesuai dengan pandangan ini adalah Contextual Teaching and Learning ( CTL).
CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang menghubungkan konsep dengan konteksnya, sehingga siswa memperoleh sejumlah pengalaman belajar bermakna berupa pengetahuan dan keterampilan. Menggabungkan materi dengan pengalaman harian individu, masyarakat dan pekerjaan yang melibatkan aktifitas.
Pendekatan CTL memungkinkan siswa dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan sekolah untuk meningkatkan kebermaknaan belajarnya. Siswa disadarkan, mengapa mereka belajar konsep-konsep dan bagaimana konsep-konsep penting dapat digunakan di luar kelas. Pendekatan CTL membuat sebagian besar siswa belajar secara efisien, kapan mereka bekerja secara kooperatif dengan siswa lain dalam kelompok.
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran merupakan konsep belajar mengajar yang memfungsikan guru sebagai pihak yang harus mengemas materi (konten) dan mengaitkannya dengan suasana yang mudah dipahami siswa (konteks). Membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, serta mendorong siswa membuat kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual membantu siswa memperoleh pengalaman dan menemukan pengetahuan atau keterampilan baru. Guru sebagai pengelola kelas lebih banyak memikirkan bagaimana siswa memperoleh pengalaman belajar sehingga siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru secara bermakna melalui pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Prinsip-prinsip yang mendasari CTL adalah:
1. Konstruktivisme (Contructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
(1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;
(2) member kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan
(3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam sebuah pembelajran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis;
(2) mengecek pemahaman siswa;
(3) membangkitkan respon pada siswa;
(4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa;
(6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
(7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
(8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas dan sebagainya.
3. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri.
Siklus inkuiri adalah:
(1) Observasi (Observation),
(2) Bertanya (Questioning),
(3) Mengajukan dugaan (Hipotesis),
(4) Pengumpulan data (Data Ghatering),
(5) Penyimpulan (Conclusion).
Sedangkan kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa menemukan sendiri, dengan langkah-langkah kegiatannya adalah: (1) merumuskan masalah; (2) mengamati atau melakukan observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil baik dalam bentuk tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; serta (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audience lainnya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu, baik di ruang kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang berada di luar sana dan mereka semua adalah anggota masyarakat yang sedang belajar.
Penggunaan pendekatan kontekstual dalam kelas, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bias melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ‘ahli’ ke dalam kelas. “Masyarakat Belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. “Seorang guru yang mengajari siswanya” bukanlah sebuah contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa. Dalam belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi belajar memberikan informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, sebaiknya ada yang bisa dijadikani model bagi siswa. Proses pemodelan tidak harus dilakukan oleh guru saja, tetapi bisa juga guru menunjuk siswa yang dianggap mempunyai kemampuan lebih jika dibandingkan dengan siswa lainnya. Model yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, memberi peluang yang besar bagi siswa lainnya untuk dapat mengerjakan sesuatu dengan baik. Dengan begitu semua siswa mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara belajar atau mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung “Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file computer saya lebih tertata dan lebih rapi”. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit sehingga semakin berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan refleksi itu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan teridentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukannya diakhir periode seperti akhir semester.
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya, itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment adalah:
(1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
(2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif;
(3) yang diukur keterampilan dan penampilan, bukan hanya mengingat fakta;
(4) berkesinambungan;
(5) terintegrasi; dan
(6) dapat digunakan sebagai feed back.
Dengan demikian pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran (Depdiknas, 2003:10).
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan komponen utama pembelajaran efektif dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana pun keadaannya. Penerapan pendekatan kontekstual secara garis besar langkahlangkahnya adalah:
(1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya;
(2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan;
(3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya;
(4) menciptakan masyarakat belajar;
(5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
(6) melakukan refleksi di akhir pertemuan; dan
(7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

F.     Pendekatan Pemecahan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghadapi permasalahan. Untuk memecahkan permasalahan tersebut biasanya kita bertanya kepada diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan yang dibantu dengan informasi yang ada. Problem atau masalah menurut Hayes (Halgimon SL, 1992:2) adalah suatu kesenjangan (gap) antara di mana Anda berada sekarang dengan tujuan yang Anda inginkan, sedangkan Anda tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan.
Menurut Hudoyo (1996:190), suatu pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan prosedur rutin, sedangkan pemecahan masalah adalah proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya Hudoyo (1996:189) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum kita ketahui penyelesaiannya ataupun masalah-masalah yang belum kita kenal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun pemecahan masalah dapat didefinisikan secara berbeda oleh orang yang berbeda dalam saat yang sama atau oleh orang yang sama pada saat yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya semua sepakat bahwa pemecahan masalah mengandung pengertian sebagai proses berpikir tingkat tinggi dan mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pengelolaannya diperlukan perencanaan pembelajaran yang matang dan perubahan pola pikir pada diri guru itu sendiri.
Dalam perencanaan, guru harus merancang pembelajaran sedemikian rupa sehingga mampu merancang berpikir dan mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan hal ini Agus (1996:25) mengemukakan bahwa agar pembelajaran pemecahan masalah lebih bermanfaat bagi siswa, guru harus melakukan langkahlangkah sebagai berikut :
1)      Ajarkan aspek-aspek pemecahan masalah yang penting, dan
2)      Merubah peranan guru dari penyampai informasi guru berperang sebagai fasilitator, pelatih dan motivator bagi siswanya.
Polya (Sumarno, 1994:2) secara rinci menguraikan empat langkah penyelesaian pemecahan masalah matematika disertai ilustrasi masalah, pertanyaan yang membimbing pemahaman tiap langkah, dan cara-cara penyelesaiannya. Keempat langkah tersebut adalah :
1)      pemahaman masalah,
2)      membuat rencana penyelesaian,
3)      mengerjakan rencana, dan
4)      peninjauan kembali hasil perhitungan.
Proses yang harus dilakukan para siswa dari keempat tahapan tersebut secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Memahami masalah
a. Apa yang tidak diketahui dan data apa yang diberikan?
b. Bagaimana syarat soal? Mungkinkah dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya ?
c. Apakah kondisi yang diberikan cukup, berlebihan, atau saling bertentangan?
d. Buatlah gambar, dan tulislah notasi yang sesuai.
2. Merencanakan Penyelesaian
a.    Pernahkah anda bertemu soal ini sebelumnya ? Atau pernahkah ada soal yang sama atau serupa dalam bentuk lain ?
b.   Tahukah anda soal yang mirip dengan soal ini ? Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini ?
c.    Perhatikan apa yang dinyatakan. Coba pikirkan soal yang dikenal dengan pertanyaan yang sama atau serupa. Misalkan ada soal yang mirip dengan soal yang pernah diselesaikan. Dapatkah pengalaman itu digunakan dalam masalah yang sekarang? Dapatkah hasil itu dan metode yang lalu digunakan di sini?
d.   Apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal semula? Dapatkah mengulang soal tadi? Dapatkah menyatakan dalam bentuk lain? Kembalilah pada definisi.
e.    Andaikan soal baru belum dapat diselesaikan, coba fikirkan soal serupa dan selesaikan. Bagaimana bentuk soal itu?
f.    Bagaimana bentuk soal yang lebih khusus? Soal yang analog? Dapatkah sebagian soal diselesaikan?
g.   Misalkan sebagian soal dibuang, sejauh mana yang ditanyakan dapat dicari? Manfaat apa yang dapat diperoleh dari data yang ada? Perlukah dat lain itu menyelesaikan soal yang dihadapi?
h.   Dapatkah yang ditanyakan data atau keduanya diubah sehingga menajdi saling keterkaitan satu dengan yang lainnya?
i.     Apakah semua kondisi sudah digunakan? Sudakah diperhitungkan ide – ide penting yang ada dalam soal tersebut?
3. Melaksanakan Perhitungan
a. Laksanakan rencana penyelesaiannya dan periksalah tiap-tiap langkahnya.
b. Periksalah bahwa setiap langkah sudah benar.
c. Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar.
4. Memeriksa kembali Proses dan Hasil
a. Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh.
b. Dapatkah diperiksa sanggahannya ? Dapatkah hasil itu dicari dengan cara yang lain?
c. Dapatkah anda melihatnya secara sekilas ? Dapatkah hasil dan atau cara itu digunakan untuk soal-soal lainnya ?
Selanjutnya Polya memberikan empat petunjuk kepada guru agar dapat menumbuhkan perilaku siswa sebagai seorang yang mampu memecahkan masalah, yaitu :
1.      Yakinkan bahwa siswa memahami permasalahan, sebab jika siswa tidak memahaminya maka minatnya akan hilang.
2.      Bantulah siswa mengumpulkan bahan sebagai landasan berfikir untuk membuat rencana. Dalam hal ini guru hendaknya mengarahkan siswa untuk mengidentifikasi seluruh syarat yang diketahui untuk membangun informasi sebanyak-banyaknya.
3.      Menciptakan iklim kondusif dalam pemecahan masalah.
4.      Setelah siswa mencapai solusi, beri semangat kepada siswa untuk merefleksikan masalah dan cara penyelesaiannya.
G.    Pendekatan Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan operasionalisasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Perlu dicermati bahwa suatu hal yang bersifat kontekstual dalam lingkungan siswa di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di daerah lain. Contoh berbicara tentang kereta api, merupakan hal yang konteks bagi siswa yang ada di pulau Jawa, namun belum tentu bersifat konteks bagi siswa di luar Jawa. Oleh karena itu pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik harus disesuaikan dengan keadaan daerah tempat siswa berada.
Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan suatu “keharusan” dalam menghadapi dunia yang tidak menentu. Siswa perlu dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan masalah. Masalah yang disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang memang semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam kehidupannya.
a)      Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu:
1.      Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali terbimbing/pematematikaan progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru di awal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention), dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika.
Prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
2.         Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) topik-topik matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.
3.         Self – developed models (model-model dibangun sendiri).
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model belajar yang bottom up.

b)      Karakteristik Pembelajaran Metematika Realistik
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, PMR memiliki lima karakteristik, yaitu:
1.      Menggunakan masalah kontekstual
Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas).
2.      Menggunakan berbagai model
Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal.
3.      Kontribusi siswa
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
4.      Interaktif
Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
5.      Keterkaitan
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam tesis ini karakteristik ini tidak muncul.
Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik di atas maka dapat dikatakan bahwa permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa. Sehingga mereka dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
c)      Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut:
Langkah 1 :     Memahami masalah kontekstual
Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta siswa memahami masalah tersebut secara individual. Guru memberi kesempatan kepada siswa menanyakan masalah/soal yang belum dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2 :     Menyelesaikan masalah
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.


Langkah 3 :     Membandingkan jawaban
Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan.
Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
Langkah 4 :     Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.
d)     Kelebihan dan Kerumitan Penerapan Pendekatan PMR
Beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain sebagai berikut.
1.      PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan seharihari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2.      PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3.      PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguhsungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
4.      PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsepkonsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
Sedangkan beberapa kerumitan dalam penerapan pendekatan PMR antara lain sebagai berikut.
1.      Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsepkonsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi siswa.
2.      Pencarian soalsoal kontekstual yang memenuhi syaratsyarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soalsoal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacammacam cara.
3.      Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
4.      Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soalsoal kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsepkonsep matematika tertentu.
Walaupun pada pendekatan PMR terdapat kendala-kendala dalam upaya penerapannya, menurut peneliti kendala-kendala yang dimaksud hanya bersifat sementara (temporer). Kendala-kendala itu akan dapat teratasi jika pendekatan PMR sering diterapkan. Hal ini sangat tergantung pada upaya dan kemauan guru, siswa dan personal pendidikan lainnya untuk mengatasinya. Menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang baru, tentu akan terdapat kendala- kendala yang dihadapi di awal penerapannya. Kemudian sedikit demi sedikit, kendala itu akan terasi jika sudah terbiasa menggunakannya.



Daftar Pustaka

Agus, D. S. (1996)., Pembelajaran Pemecahan Masalah. Tinjauan Singkat Berdasarkan Teori Kognitif dalam Pendidikan Humaniora dan Sains Tahun 2 Nomor 1 dan 2.
Hudoyo. (1997). Matematika. Dirjen Dikti – BP3GD
Ruseffendi. E.T.(1992) Pendidikan Matematiika 3 Penddikan dan Kebudayaan Proyek pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi,Jakarta.
Ruseffendi. E.T (1991) Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Mennngkatkan CBSA.Tarsito Bandung.
Sagala S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo, dkk (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FP MIPA IKIP Bandung.
Suparno P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar